blog_img1

Utang Pemerintah dan Kehati-hatian

Sampai dengan akhir September 2020, total utang luar negeri (ULN) pemerintah mencapai  5.756,87 triliun rupiah. Utang pemerintah tersebut terdiri atas pinjaman 864,29 triliun rupiah dan dan surat berharga negara (SBN) sebesar 4.892,57 triliun rupiah. Dengan jumlah ini, rasio utang pemerintah mencapai 36,41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Jika dilihat tren dalam rentang 2000-2018, rasio utang pemerintah Indonesia berada pada kisaran  38,49 persen terhadap PDB, yang pernah mencapai puncaknya pada tahun 2000 sebesar 87,43 persen dan terendah pada angka 22,96 persen. Sedangkan berdasarkan estimasi Badan Kebijakan Fiskal (BKF), akan terjadi lonjakan rasio utang di angka 37,6 persen pada 2020 dan akan lebih tinggi lagi pada 2021, yakni bisa mencapai 41,09 persen.

Sementara itu, dalam laporan Bank Dunia pada 12 Oktober 2020 atau International Debt Statistics (IDS) 2021, utang luar negeri Indonesia pada 2019 mencapai 402,08 miliar dolar AS atau setara 5.697,53 triliun rupiah. Sementara pada 2018, utang luar negeri Indonesia sebesar 379,58 miliar dolar atau setara 5.378,8 triliun rupiah. Artinya terjadi kenaikan sebesar 0,95 persen. Keseluruhan utang tersebut mencakup utang luar negeri pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan swasta. Rasio utang pemerintah terhadap pendapatan nasional bruto (PNB)  sebesar 37 persen, baik tahun 2019 maupun 2018. PDB Indonesia sendiri berjumlah sekitar 1,08 trillliun dolar AS pada 2019 dan 1,01 trilliun dolar pada 2018.

Berdasarkan IDS 2021 tersebut, yakni dalam konteks utang luar negeri 10 negara berpendapatan kecil-menengah (low and middle income countries) Indonesia menempati posisi ketujuh. Total nilai utang Indonesia (402,084 miliar dolar AS) berada di bawah China yang memiliki utang 2,1 triliun dollar, Brazil dengan 569,39 miliar dollar AS, India dengan 560,03 miliar dollar AS, Rusia dengan 490,72 miliar dollar AS, Meksiko dengan 469,72 miliar dollar AS, dan Turki 440,78 miliar dollar AS. Negara dengan jumlah utang yang lebih kecil dari Indonesia adalah Argentina yang berutang 279,3 miliar dollar AS, Afrika Selatan dengan 188,1 miliar dollar AS, dan Thailand dengan 180,23 miliar dollar AS.

Jika dibandingkan dengan jumlah utang beberapa negara maju atau berpendapatan tinggi (high income countries), rasio jumlah utang Indonesia bisa dinilai kecil. Jepang, misalnya, memiliki utang pemerintah rata-rata 138,61 persen terhadap PDB dari 1980 sampai 2019, yang mencapai puncaknya pada 2018 dengan rasio 238,20 dan rekor terendah pada 1980 dengan rasio 50,60 persen.

Salah satu negara tetangga termaju Indonesia, Singapura, memiliki utang pemerintah dengan rasio rata-rata 92,27 persen terhadap PDB antara tahun 1993 sampai 2019, yang mencapai puncaknya pada 2019 pada angka 126,30 persen dan terendah pada 1995 dengan rasio 67,40 persen. Sementara itu, Malaysia memiliki rata-rata rasio utang pemerintah di kisaran 48,71 persen dari 1990 sampai 2019, dengan angka tertinggi pada 1990 yang mencapai 80,74 persen dan terendah pada 1997 pada angka 31.80 persen.

 

Efek Pandemi

Secara teoritis dan praktis, kita tentu bisa menyatakan bahwa kenaikan utang dan dengan sendirinya rasio utang terjadi karena adanya faktor countercyclical, yaitu kecenderungan tertahan atau membaliknya fluktuasi siklus ekonomi. Hal ini tidak hanya dialami Indonesia, negara-negara anggota Group of Twenty (G20), forum internasional pemerintah dan gubernur bank sentral dari 19 negara dan Uni Eropa (EU), juga mengalami hal yang sama. Pandemi yang menebar ancaman resesi telah memutar-balikkan prediksi dan kondisi ekonomi dunia.

Negara-negara yang lebih maju atau termasuk kategori berpendapatan tinggi ada yang mencapai rasio 130 persen dibanding kondisi normal pada kisaran 100 persen. Sedangkan pada negara-negara berkembang, dengan rasio utang pada kisaran 50 persen dalam situasi normal, saat ini meningkat sampai 60 persen hingga 70 persen. 

Untuk pemerintah Indonesia sendiri, dalam rentang dua pekan ini, teah menambah utang sebesar 24,5 triliun rupiah. Utang berkategori bilateral ini berasal dari pemerintah Australia sebesar 15,45 triliun rupiah dan pemerintah Jerman sebesar 9,1 triliun rupiah. Dana tersebut, sesuai kesepakatan, tersebut akan diperuntukkan bagi berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19.

Kehati-hatian

Sikap paling moderat, baik bagi penyelenggara pemerintahan, pengamat dan masyarakat sipil tentu saja adalah memastikan terwujudnya kehati-hatian. Kritik keras yang dekonstruktif, yang tidak mencerdaskan publik tentu saja tidak tepat. Namun demikian, terlalu berani berutang atau habis-habisan mendukung pilihan fiskal ini tentu juga salah.

Dengan melihat saksama laporan IDS 2021 yang dirilis pada 12 Oktober 2020, misalnya, dengan rasio utang mencapai 37 persen terhadap PNB, rasio utang terhadap ekspor (external debt stocks to exports) mencapai 194 persen. Pada September 2020, nilai ekspor Indonesia hanya mencapai 14 miliar dolar, yang jika dibanding tahun sebelumnya turun 0,51 persen.

Seiring dengan itu, kinerja penerimaan di sektor valas juga belum membaik. Rasio pembayaran utang atau debt service ratio (DSR) Tier-1 meningkat pada kuartal II 2020 menjadi 29,5 persen, yang berarti melewati batas aman yang dipatok International Monetary Fund (IMF) sebesar 25 persen. Singkat kata, dengan rendahnya kinerja penerimaan di sektor valas dengan sendirinya akan memperbesar beban utang luar negeri Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi penganggaran dan pengawasan belanja negara juga perlu lebih waspada. Perencanaan utang pemerintah harus dipastikan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 72/2020 tentang Penyesuaian Kembali Postur dan Rincian APBN 2020. Sebagai contoh, anggaran sebesar 695,2 triliun rupiah untuk Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) harus dipastikan betul-betul sesuai dengan peruntukannya. Sebab jika tidak, ekonomi Indonesia akan mengalami “bertukar tangkap dengan lepas”, alih-alih terjadinya perbaikan ekonomi, beban utang bagi generasi mendatang yang bertambah besar.**

___

Dipublish juga di : https://akurat.co/ekonomi/id-1241127-read-utang-pemerintah-dan-kehatihatian