blog_img1

Pelajaran Demokrasi Dari Biden dan Trump

“Dia [Joe Biden] menang karena pemilihan umumnya sudah dicurangi. Tak boleh ada saksi atau pengamat, suara ditabulasi oleh perusahaan swasta yang dimiliki oleh [kelompok] Kiri Radikal, Dominion, yang memiliki reputasi jelek dan perlengkapan yang tak layak yang tak setara dengan apa yang ada di Texas (di mana saya menang banyak), demikian juga dengan media palsu dan diam [saja terkait kecurangan tersebut] dan banyak lagi!”

Demikian kicauan Trump yang pada akhirnya mengakui kemenangan Joe Biden pada 15 November 2020. Meskipun tak sukarela tentu saja. Sejak sebelum pemilihan umum (pemilu) presiden Amerika Serikat (AS) digelar pada 3 November 2020 dan survei serta hasil penghitungan suara terus “memihak” kepada Biden, Donald Trump, calon petahana Partai Republik terus kasak-kusuk.

Baik secara lisan di depan publik atau melalui media sosial (terutama lewat platform Twitter), dia tidak hanya menyerang Biden tetapi juga pelaksana pemilu dan bagaimana pemilu dilaksanakan. Serangan beserta tuduhan menjadi semakin bertubi-tubi setelah wilayah pemilihan penentu Wisconsin, Pennsylvania dan Michigan dimenangkan oleh Biden. Twitter, sebagai media sosial yang paling sering digunakan Trump, sampai merasa perlu membuat kebijakan “menyamarkan” kicauan-kicauan tak presidensialnya tersebut.

Ketika kemenangan Biden sudah di depan mata, yakni sebelum sebagian besar media massa mengumumkan kemenangannya pada 7 November, Trump tidak hanya gencar bicara tentang langkah-langkah hukum tetapi sekaligus menginstruksikan orang-orang terdekatnya untuk melakukan itu.  Anaknya, Donald Trump Jr, bahkan bergerak cepat ke Pennsylvania dan daerah kunci lainnya untuk menempuh langkah hukum supaya penghitungan dihentikan atau dilakukan penghitungan ulang.

Di sisi lain, Joe Biden, calon dari Partai Demokrat yang pada akhirnya berdasar penghitungan riil memenangkan pemilu, terus berusaha tampil sebagai negarawan yang mengedepankan kedamaian dan persatuan rakyat AS. Bersenjatakan beberapa isu faktual dan berdampak luas bagi masyarakat, terutama terkait kegagalan pemerintahan Trump dalam menangani pandemi Covid-19, Biden berusaha tampil matang.

Politisi kawakan yang akan menjadi presiden terpilih tertua di sepanjang 59 kali pemilu AS bukan tak pernah termakan umpan Trump. Terus diganggu Trump dalam debat publik resmi pertama pada 22 Oktober 2020, misalnya, Biden sempat terlihat emosional dan mengeluarkan salah satu ungkapan yang terus diulang-ulangnya di kemudian hari bahwa sebagai presiden Trump tak berlaku presidensial (unpresidential). Bahwa dengan kapasitas sebagai presiden, Trump melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat seorang presiden.

Kemenangan Joe Biden, yang berpasangan dengan Kamala Harris, politisi perempuan keturunan Afrika-India, kemudian menjadi antiklimaks dari politik main api Trump. Bagi para swing-voters, bahkan bagi sebagian kaum Republikan yang secara terang-terangan beralih mendukung pasangan Biden-Harris,  karut-marut kebijakan politik AS dan tindakan-tindakan tak presidensial Trump selama hampir empat tahun dinilai telah melampaui batas dan tidak bisa ditoleransi lagi.

Jika upaya-upaya hukum yang tengah dilakukan Trump dan orang-orang dekat serta politisi Partai Republik yang terus mendukungnya tidak berhasil, pasangan Biden-Harris akan dilantik pada 20 Januari  2021. Meskipun kita tahu bahwa kemungkinan Trump akan menang semakin tipis, terutama karena tuduhan-tuduhan yang diajukan terkait validitas hasil pemilihan umum tak disertai bukti-bukti yang kongkrit.  Di samping itu, sampai saat ini pasangan Joe Biden-Kamala Harris telah meraih 306 electoral votes ketika pasangan petahana Donald Trump-Mike Pence hanya memperoleh 232.

Demokrasi dan pemenangan pemilu

Dari segi demokrasi dan pemenangan pemilu, kontestasi pemilu presiden AS pada 2020 ini memberi kita beberapa pelajaran berharga. Pertama, sebagai kiblat demokrasi dunia, dinamika politik AS secara konsisten menunjukkan bagaimana demokrasi berfungsi atau dikelola. Demokrasi tetap merupakan pilihan yang lebih baik di antara sistem politik yang ada, yang jika dikelola secara baik dan benar akan lebih memberi rasa keadilan dan tegaknya orde sosial.

Seperti dalam sepakbola, situasi panas ketika pertandingan berlangsung adalah hal yang wajar. Namun supaya situasi tersebut tidak berujung pada konflik yang bereskalasi menjadi kekerasan, apalagi dalam skala yang massif, harus terdapat sistem yang kuat dan ditegakkan secara benar. Tuduhan-tuduhan kecurangan harus betul-betul harus disertai bukti, diproses dalam sistem yang transparan dan dikawal oleh publik. Ketika kini pasangan Joe Biden dan Kamala Harris sudah tinggal menunggu pelantikan dan bersiap dengan proses transisi, karena selisih electoral vote yang tidak mungkin terkejar lagi meskipun dilakukan upaya hukum oleh tim Donald Trump-Mike Pence, situasi panas di tengah publik AS perlahan tapi pasti mulai mereda. 

Kedua, dalam dinamika sistem demokrasi, seperti yang baru saja terlihat dalam pemilu presiden Amerika, terdapat bebagai peluang bagi sikap atau tindakan yang bisa saja dikategorikan sebagai non-demokratis. Kita bisa melihat, misalnya, sikap dan tindakan Donald Trump dan anggota tim pemenangannya yang berusaha mempengaruhi publik untuk sangsi, tidak menerima dan menuntut penghitungan ulang.

Namun demokrasi yang dibangun dalam satu sistem yang jelas dan dijalankan secara taat asas dan aturan dengan sendirinya menjadi kokoh. Seperti dalam sepakbola, ketika terdapat sistem yang diketahui dan dipatuhi oleh semua pihak, pertandingan atau kompetisi menjadi ajeg, tidak semrawut, dan membuat industri sepakbola terus berkembang pesat.

Ketiga, apa yang dilakukan oleh Donald Trump dan tim pemenangannya, meskipun merupakan bagian dari dinamika demokrasi, tentu menjadi catatan tersendiri. Eksploitasi aspek memecah-belah dari demokrasi—sesuatu yang pada dasarnya bersifat intrinsik—secara fatsoen, etika atau tata-peraturan tak layak ditiru.

Demokrasi memang mengandung kemungkinan akan adanya pembelahan sosial karena berbagai sebab, tetapi menajamkan pembelahan dalam rangka mendapatkan keuntungan elektoral adalah tindakan tidak terpuji. Dalam kasus pemilu presiden AS, tindakan Trump mengeksploitasi dilema demokrasi tersebut pada akhirnya menuai petaka, para swing-voters dan para Republikan yang sudah tak tahan dengan tutur-tindakan—atau bahkan kebijakan-kebijakannya—memilih untuk memberikan suara pada pasangan Joe Biden dan Kamala Harris.**