blog_img1

Berkoperasi dalam Pandemi

Pada malam 18 Oktober 2020, saya mengumpulkan semua karyawan Koperasi PS Merpati untuk membahas kondisi collectibility anggota. Tujuan utamanya adalah menghindari terjadinya Sisa Hasil Usaha (SHU) yang negatif. Di samping itu, sebagai pimpinan, saya tetap harus menebar optimisme walaupun sebenarnya berat dan sulit, sambil terus mencari jurus-jurus baru yang ampuh menghadapi pandemi yang terus berlarut-larut ini.

Kolektibilitas terkait dengan pendapatan koperasi dari kontribusi para anggota. Setelah dikurangi berbagai biaya riil koperasi—seperti biaya operasional, pajak dan penyusutan—sisa dari pendapatan disebut sebagai SHU positif. Jika itu yang terjadi,  kita menyebut pendapatan koperasi melebihi kebutuhan biaya riil koperasi dan sesuai UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, Pasal 45 (ayat 2), kelebihan tersebut dikembalikan koperasi kepada para anggotanya (patronage refund). Dan ini adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu para anggota, yakni mendapatkan SHU sebagai imbalan karena sudah berkontribusi pada koperasi.

Namun, dalam jurus perkoperasian, seperti dalam microfinance atau perbankan pada umumnya, keuntungan atau SHU positif tak semua dibagikan. Harus disisakan dana cadangan, penambahan modal, dana pendidikan, atau dana untuk berbagai keperluan lain dalam rangka memastikan koperasi bisa berjalan terus dan berkembang dengan baik ke depannya. Ini biasanya disistemkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) koperasi.

SHU negatif atau minus terjadi ketika jumlah pendapatan koperasi lebih kecil daripada jumlah biaya riil yang wajib dikeluarkan. Dalam hal ini, bisa diartikan juga bahwa kontribusi anggota terhadap koperasi lebih kecil daripada biaya riil koperasi. Jika ini terjadi, yakni kalau koperasi sebelumnya berjalan sehat dan dikelola secara benar, kekurangan kebutuhan biaya riil ditutup dengan dana cadangan. Ini sesuai dengan Pasal 41 (Ayat 2c) UU No. 25/1992).

Supaya tak terjadi SHU negatif, sampai saat ini semua “jurus” ilmu microfinance yang saya tahu sudah dikeluarkan. Namun, pandemi yang berlarut-larut—yang bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia—dan berdampak pada hampir semua sektor dan tingkat perekonomian, ternyata menuntut lebih jauh. Dan sebagai pimpinan koperasi, secara kolektif-kolegial jurus-jurus baru harus ditemukan, dicoba dan disistemkan.

Optimisme dan self-efficacy

Sebagai langkah awal, seperti saya singgung di atas, optimisme harus tetap kuat. Tanpa optimisme dan keyakinan yang kuat dari para pengelolanya, lembaga rakyat dari rakyat dan untuk rakyat ini tak akan sanggup terus melayani hajat ekonomi para anggota.

Oleh karena itu, sambil terus berharap vaksin dan obat Covid-19 betul-betul ditemukan dan bisa diproduksi masal, pertama-tama harus ada rasa syukur. Sebab, meskipun terjadi SHU negatif, misalnya, pada koperasi yang kami kelola belum terjadi krisis karena non-performing loan (NPL) alias membelitnya kredit bermasalah. Artinya, meskipun harus menggunakan dana cadangan untuk biaya operasional riil, kehidupan ekonomi para anggota yang bersandar pada koperasi masih berjalan.

Kedua, jika satu jurus gagal, jurus baru harus ditemukan. Ini adalah waktu untuk belajar dan bekerja lebih giat dan keras lagi.

Di sini amat penting apa yang disebut seorang psikolog Amerika, Jerome Bruner (1994) sebagai self-efficacy dalam studinya tentang bagaimana manusia belajar. Setiap pengelola, demikian juga para  anggota koperasi, harus sampai pada satu keyakinan bahwa dirinya mampu menghasilkan sesuatu atau to effect bidang yang digelutinya. Dalam keyakinan itu tercakup niat yang kukuh untuk terus berbuat dalam satu visi keberhasilan, meskipun terdapat rasa kuatir atau gangguan imajiner lainnya seperti besar-kecil hasil yang akan diperoleh.

Dalam bahasa agama, kita juga mengenal istilah ketetapan hati, yang dalam ibadah misalnya dinyatakan dalam doa “Wahai Tuhan yang membolak-balik hati, tetapkanlah hati kami pada diin Engkau.” Secara psikologis, hati yang tidak tetap terjadi karena kurangnya self-efficacy, keyakinan akan kemampuan diri—sesuatu yang amat manusiawi—sehingga berdoa merupakan riyaadhah atau upaya untuk memastikan hati hanya terpaut dengan Tuhan dan dengan itu menghapus rasa kuatir, takut dan seterusnya. Di sini, diin menjadi tujuan yang hendak dicapai, yaitu hati visioner yang disinari cahaya ketuhanan, yang menjadi kukuh karena niat akan kebajikan.

Bruner selanjutnya berbicara tentang “exercise influence over events that affect their lives” atau  bagaimana orang yang memiliki self-efficacy itu yakin akan mampu (dan bertanggungjawab) memberi dampak terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Artinya, mereka sadar bahwa berpikir, bersikap dan bertindak dengan cara biasa (yang dalam konteks pandemi ini bisa disebut sebagai kenormalan lama) tidaklah tepat.

Sebaliknya, cara-cara biasa harus dikritisi ulang—kalau perlu ada yang dibuang—dan cara-cara baru (new normal) harus mulai dicoba. Namun, untuk mencoba atau menerapkan cara-cara baru baru diperlukan apa yang disebut Bruner sebagai “high assurance in their capabilities” atau keyakinan (atau pernghargaan) yang kuat pada kemampuan diri sendiri. 

Kembali pada ajaran agama, keyakinan yang kuat di sini terkait dengan kemampuan individu atau satu kaum untuk mengubah nasib sendiri. Dalam al-Quran, misalnya Surah Al-Ra'd (13) ayat 11, hal ini dinyatakan secara eksplisit “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Selain pemahaman yang tersurat—yang memang paling umum dipahami—terdapat makna yang lebih dalam dari ayat di atas berdasarkan pendapat ulama tafsir. Pertama, kata maa bianfusihim bisa diartikan bahwa manusia itu pada dasarnya sudah diberikan berbagai potensi terbaik dalam diri mereka. Hanya saja, karena ulah mereka sendiri, potensi-potensi tersebut berubah atau tidak bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kebajikan.

Kedua, secara psikologis-sosiologis, perubahan bermula dari penggunaan atau kapitalisasi dari  potensi yang ada diri sendiri. Ada misalnya hadis “Mulailah [melakukan kebajikan] dari diri sendiri!”  Artinya, perubahan suatu komunitas (kaum) merupakan dampak positif dari perubahan yang terjadi pada diri individu yang ada dalam komunitas tersebut. Atau dalam hal ini kita juga bisa mengikuti nasihat Maulana Jalaludin Rumi “Kemarin aku begitu cerdas, maka aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku menjadi bijak, maka aku mengubah diriku sendiri.”

Kembali pada optimisme dalam menggerakkan mesin koperasi sebagai sebuah komunitas ekonomi, kekuatan keyakinan diri para pengelola, bahwa mereka adalah orang-orang yang pada dasarnya memiliki potensi diri dan bisa melakukan perubahan, adalah modal dasar. Jika tidak, roda koperasi akan dijalankan seperti biasa dalam situasi yang tidak biasa ini, sehingga perubahan nasib tak akan terjadi.

Allaahu a’lam bi al-shawaab.